Selainitu, mengenai pembentukan pengadilan HAM ad hoc yang menurut Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM dilakukan atas usul Dewan Perwakilan Rakyat ("DPR"), DPR dalam merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM ad hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang memang berwenang untuk itu. Selain itu, Putusan MK 18/2007 juga telah menyatakan bahwa kata REPUBLIKACO.ID, KAIRO - Parlemen Arab pada Jumat menyambut baik keputusan Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk meluncurkan penyelidikan internasional atas pelanggaran HAM oleh Israel selama serangan di wilayah Palestina baru-baru ini. Sebuah pernyataan dari badan itu mengatakan langkah PBB tersebut sejalan dengan seruan Parlemen Arab untuk Hanyamengadili pelanggaran HAM berat. 2. Kejahatan universal. Pengadilan HAM berwenang mengadili pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar batas teritorial RI oleh warga negara Indonesia. 3. Genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan saja yang diadili oleh Pengadilan HAM. 4. Jaksa Agung adalah penyidik dan penuntut umum. 5. PBB Pelanggaran HAM di Myanmar Kian Mengkhawatirkan. Ahad 12 Dec 2021 23:16 WIB Myanmar pada 11 November 2020. Pemimpin Myanmar yang digulingkan Aung San Suu Kyi adalah putri pahlawan kemerdekaan negara itu, Jenderal Aung San , yang dibunuh pada tahun 1947, kurang dari enam bulan sebelum negara itu, yang saat itu bernama Burma, merdeka Macaminstrumen HAM di dunia atau yang diakui secara internasional adalah piagam PBB yang menandai berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945 dan Universal Declaration of Human Rights. Dari sana, kemudian terbentuk berbagai lembaga HAM Internasional yang melaksanakan, mengawasi pelaksanaan Ham dan mengadili pelanggarannya. M6Kkw. /Artikel /Tentang “Pengadilan HAM” Internasional 23/09/2014 Statuta dan praktek pengadilan Tokyo, Nuremberg, ICTY, ICTR, dan Statuta Roma adalah sumber hukum internasional terpenting yang memberikan sumbangan definitif terhadap apa yang disebut sebagai “international crimes” saat ini. Statuta Pengadilan Nuremberg dan Tokyo tahun 1945 lah yang pertama kali menguraikan kejahatan-kejahatan yang hingga saat ini dianggap sebagai tindak kejahatan internasional, yaitu kejahatan terhadap perdamaian crimes against peace, kejahatan perang war crimes, dan kejahatan terhadap kemanusiaan crimes against humanity. Selain itu, dalam pengadilan Nuremberg dan Tokyo inilah pertama kali dikenal konsep individual criminal responsibility. Berawal dari preseden yang disumbangkan oleh kedua pengadilan internasional itulah, pada tanggal 21 November 1947, pasca perang dunia kedua, PBB membentuk Komisi Hukum Internasional International Law Commission melalui Resolusi Majelis Umum PBB Komisi ini bertugas untuk menyusun sebuah standar hukum internasional yang menjadi pegangan setiap negara anggota PBB. Pada sessi pertemuan yang ke 48, yang berlangsung bulan Mei sampai Juli 1996, Komisi Hukum Internasional ini berhasil menyepakati untuk mengadopsi serangkaian norma-norma atau prinsip-prinsip hukum internasional yang terangkum dalam 20 pasal “Draft Code of Crimes Against Peace and Security of Mankind”. Dalam draft kodifikasi tersebut dinyatakan bahwa yang termasuk di dalam tindak “kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia” adalah kejahatan agresi pasal 16 –yang memberikan dasar bagi penjabaran lebih lanjut definisi command responsibility, kejahatan genosida pasal 17, kejahatan terhadap kemanusiaan pasal 18, kejahatan terhadap PBB dan personel-personelnya pasal 19, serta kejahatan perang pasal 20. Pengadilan internasional berikutnya yang memberikan sumbangan sangat penting dalam proses pendefinisian tindak pidana yang termasuk “kejahatan internasional” adalah Pengadilan Pidana Internasional untuk Negara Bekas Yugoslavia ICTY. Statuta ICTY memberikan sumbangan besar terhadap pengembangan konsep individual criminal responsibility dan command responsibility, dimana mereka yang dianggap bertanggung jawab pidana secara individu tidak hanya orang yang melakukan tapi juga yang memerintahkan melakukan tindak kejahatan ICTY pula yang memperkenalkan praktek penerapan command responsibility dalam pengadilan pidana. Pengadilan internasional lainnya, yaitu Pengadilan Internasional untuk Rwanda International Criminal Tribunal for Rwanda, ICTR yang dibentuk melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB no. S/RES/955 tahun 1994, dalam statutanya menyatakan bahwa lingkup kewenangan pengadilan tersebut adalah mengadili mereka yang bertanggung tindak kejahatan internasional yang masuk dalam yurisdiksi ICTR ini adalah genosida pasal 2; kejahatan terhadap kemanusiaan pasal 3; dan pelanggaran pasal 3 seluruh Konvensi-konvensi Geneva 1949 beserta Protokol tambahan II tahun 1977 pasal 4. Berikutnya pada tahun 1994, Draft Statute for an International Criminal Court, yang menjadi cikal bakal Statuta Roma, yang juga merupakan hasil kerja International Law Commission, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak kejahatan internasional dan akan berada dalam yurisdiksi pengadilan pidana internasional adalah kejahatan Genosida, Kejahatan agresi, pelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku saat pertikaian bersenjata, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan yang dilakukan berkaitan dengan perjanjian yang merupakan tindak kejahatan yang sangat serius yang bersifat internasional. Ketika Statute for an International Criminal Court Statuta Mahkamah Pidana Internasional yang kemudian lebih dikenal sebagai Statuta Roma akhirnya disepakati dalam International Diplomatic Conference di Roma pada tanggal 17 Juli 1998 disebutkan tindak-tindak kejahatan internasional adalah “kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secara keseluruhan” yaitu genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Sumbangan penting lain dari Statuta Roma ini adalah pencantuman secara eksplisit bahwa kejahatan yang berupa serangan seksual sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Beberapa tindakan yang dapat dimasukkan dalam dua kategori ini adalah perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi yang dipaksakan, kehamilan yang dipaksakan, sterilisasi yang dipaksakan, atau bentuk lain dari kekerasan seksual yang memiliki bobot yang setara equal gravity pasal 7 ayat 8 ayat 8 ayat Pencantuman secara detail dan eksplisit tindakan kejahatan seksual ini dalam yurisdiksi Mahkamah, merupakan sebuah penguatan yang kritis bahwa perkosaan dan bentuk serangan seksual lainnya dalam situasi tertentu merupakan tindak kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional. Related Articles CSR & HAM CSR Risk Check Relasi Bisnis dan HAM Peran NHRIs dalam Menjamin Penghormatan HAM Partai Politik Alternatif dan Pemilu Konsolidasi Gerakan Sosial, Saatnya Rakyat Membangun Partai Politik Alternatif Menakar Kemungkinan Membangun Partai Politik Alternatif Geneva – Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa seyogianya segera bertindak untuk memastikan bahwa mereka yang melakukan berbagai tindak kejahatan kejam di Burma dimintai pertanggungjawaban, kata Human Rights Watch. Dewan Keamanan PBB perlu merujuk situasi di Burma ini ke Mahkamah Pidana Internasional ICC, dan pemerintah negara-negara yang turut prihatin seharusnya segera mengajukan resolusi PBB guna membentuk suatu Mekanisme Internasional, Imparsial, dan Independen IIIM agar dapat menyelamatkan bukti dan mendampingi proses penyelidikan sebagai dasar untuk melakukan penuntutan hukum terhadap mereka yang bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran berat di Burma. Pada 27 Agustus 2018, tiga ahli dari Misi Pencari Fakta yang telah diberi mandat oleh PBB menerbitkan laporan yang mendokumentasikan berbagai pelanggaran oleh pasukan keamanan Burma terhadap populasi etnis Rohingya, termasuk tetapi tak terbatas kepada, pembunuhan, pemerkosaan, serta penyiksaan, dan menyimpulkan bahwa tindakan-tindakan ini dapat digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Laporan ini juga menemukan bahwa terdapat penindasan dan diskriminasi yang sistematis sehingga termasuk dalam kategori persekusi, dan juga dapat digolongkan sebagai apartheid. Laporan ini juga menyimpulkan bahwa ada informasi memadai untuk menyelidiki para pejabat tinggi militer untuk menentukan apakah mereka bersalah atas tindak kejahatan genosida, dan mencantumkan nama enam komandan senior. Laporan ini juga menjabarkan berbagai pelanggaran yang dilakukan para militan Rohingya serta menyerukan agar mereka turut diadili. “Laporan bernas dari tim Misi Pencari Fakta serta sejumlah rekomendasi gamblang ini menunjukkan adanya kebutuhan nyata untuk mengambil langkah konkret demi memajukan peradilan pidana bagi tindak-tindak kejahatan keji, alih-alih menyuarakan kecaman dan ekspresi keprihatinan yang hampa belaka,” ujar Brad Adams, direktur Human Rights Watch untuk kawasan Asia. “Negara-negara anggota PBB seyogianya meningkatkan sejumlah upaya antara lain membentuk Mekanisme Internasional, Imparsial, dan Independen untuk memastikan bahwa mereka yang bertanggung jawab atas berbagai kejahatan berat tidak bebas dari proses peradilan.” Laporan setebal 20 halaman ini memuat temuan-temuan utama berdasarkan 847 wawancara, pencitraan satelit, dokumen-dokumen asli, sejumlah foto, dan video, serta melaporkan berbagai pelanggaran serius di Negara Bagian Rakhine, Shan, dan Kachine sejak 2011 hingga sekarang. Selain kejahatan-kejahatan yang didokumentasikan di Negara Bagian Rakhine, Misi Pencari Fakta menemukan bahwa kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang juga dilakukan oleh militer Burma di Negara Bagian Shan dan Kachin. Laporan ini juga merinci berbagai pelanggaran yang dilakukan kelompok-kelompok etnis bersenjata yang dapat digolongkan sebagai kejahatan perang. Laporan ini menyimpulkan bahwa pelanggaran-pelanggaran yang terjadi mencerminkan pola perilaku yang sudah lama dilakukan oleh aparat militer Burma dan menekankan perlunya mengakhiri siklus impunitas. Laporan ini mengimbau Mahkamah Pidana Internasional ICC untuk menggelar investigasi dan mengadili kasus-kasus dan mengusulkan kemungkinan pembentukan pengadilan khusus oleh Dewan Keamanan PBB, mirip dengan pengadilan yang dibentuk untuk mengadili pelanggaran-pelanggaran berat yang dilakukan di bekas Yugoslavia. Laporan ini juga memuat nama enam pejabat tinggi militer, termasuk Jend. Sen. Min Aung Hlaing, sebagai salah satu pihak yang bertanggung jawab atas “kegagalan untuk mengambil langkah-langkah yang perlu dan wajar demi mencegah dan menghukum tindak kejahatan, dan terdapat hubungan sebab akibat antara kegagalan-kegagalan ini dengan tindak kejahatan yang dilakukan.” Laporan ini menemukan bahwa meski pejabat sipil tak memiliki kewenangan untuk mengendalikan militer, mereka tetap berkontribusi melakukan kejahatan melalui berbagai tindakan dan kelalaian mereka. Laporan ini juga merekomendasikan agar negara-negara anggota PBB segera membentuk Mekanisme Internasional, Independen, dan Imparsial – serupa dengan IIIM Suriah – untuk mengumpulkan, mengevaluasi, dan menyimpan alat bukti guna membantu penyidikan dan penuntutan pidana terhadap kasus-kasus kejahatan yang dilakukan di Burma, termasuk oleh negara ketiga dengan menggunakan hukum yurisdiksi universal mereka. Mekanisme seperti ini seyogianya diberi mandat untuk mempertimbangkan tindakan-tindakan kejahatan hingga sekurang-kurangnya 2011, yakni periode waktu utama yang diliput dalam laporan Misi Pencari Fakta, menurut Human Rights Watch. Human Rights Watch telah mengimbau Dewan Keamanan PBB dan sejumlah negara yang prihatin terhadap situasi ini untuk memberlakukan embargo senjata dan sanksi khusus, termasuk larangan bepergian dan pembekuan aset, terhadap para komandan militer Burma yang terlibat dalam pelanggaran, dan merujuk situasi ini ke Mahkamah Pidana Internasional ICC. Secara terpisah, hakim-hakim di ICC sedang mempertimbangkan apakah mahkamah itu memiliki yurisdiksi terhadap pejabat tinggi Burma yang memaksa pengungsi Rohingya untuk melarikan diri ke Bangladesh, yang merupakan negara anggota ICC, sehingga termasuk ke dalam tindak kejahatan kemanusiaan dalam bentuk deportasi paksa. Sejak kampanye pembersihan etnis oleh militer Burma dimulai Agustus lalu, negara-negara dan lembaga multilateral – termasuk Amerika Serikat, Kanada, dan Uni Eropa – telah memberlakukan larangan bepergian dan sanksi keuangan terhadap sejumlah komandan dan unit pasukan keamanan Burma, serta beberapa individu yang terlibat dalam pelanggaran kejam, yang sebagian besar terjadi di Negara Bagian Rakhine. Meski sanksi-sanksi yang telah diterapkan ini penting, mereka tak dapat menggantikan penuntutan hukum di hadapan pengadilan yang kredibel, imparsial, dan independen, menurut Human Rights Watch. Dewan Hak Asasi Manusia PBB membentuk Misi Pencari Fakta PBB untuk urusan Burma pada Maret 2017 dikarenakan adanya tuduhan yang kredibel dan serius bahwa pelanggaran hak asasi manusia telah terjadi pada akhir 2016. Mandat misi ini adalah untuk “menetapkan fakta, peristiwa, dan situasi yang runut mengenai dugaan pelanggaran hak asasi manusia oleh pasukan militer dan keamanan, serta pelanggaran-pelanggaran lainnya, di Burma [...] dengan tujuan untuk memastikan akuntabilitas sepenuhnya bagi para pelaku dan keadilan bagi para korban.” Mandat tersebut kemudian diperpanjang setelah adanya pelanggaran meluas yang dimulai pada 25 Agustus 2017. Pemerintah Burma menolak untuk bekerja sama dengan Misi Pencari Fakta dan menolak memberi akses masuk kepada para ahli berikut staf mereka. “Sejauh ini, kecaman tanpa aksi nyata oleh negara-negara anggota PBB hanya memuluskan budaya kekerasan dan penindasan di Burma,” ujar Adams. “Laporan ini semestinya menghapuskan segala keraguan tentang pentingnya menyelidiki mereka yang bertanggung jawab untuk kejahatan massal. Sekarang waktunya untuk bertindak.” Latar Belakang Laporan Misi Pencari Fakta ini diterbitkan setahun setelah serangkaian serangan tanggal 25 Agustus 2017 oleh para tentara militan dari Tentara Pembebasan Rohingya Arakan ARSA, yang disusul dengan kampanye pembersihan etnis, pembunuhan, pemerkosaan, dan pembakaran massal yang dilakukan oleh pasukan keamanan Burma terhadap warga Rohingya. Human Rights Watch menemukan bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut dapat digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Sejak Agustus 2017, lebih dari warga beretnis Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh, tempat 1 juta pengungsi Rohingya kini hidup di tenda-tenda kumuh, sesak, dan rawan banjir. Para pejabat PBB sebelumnya telah menyebutkan bahwa pelanggaran-pelanggaran di atas merupakan kejahatan kemanusiaan dan mengatakan bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut memiliki “tanda-tanda genosida.” Saat rangkaian operasi militer dimulai Agustus lalu, 362 desa-desa mayoritas warga Rohingya di wilayah utara Negara Bagian Rakhine telah sepenuhnya atau sebagian dihancurkan dengan pembakaran. Human Rights Watch mendokumentasikan penghancuran total maupun sebagian tersebut sejak November terhadap sedikitnya 60 desa-desa yang sebelumnya ditinggali oleh warga Rohingya, dengan demikian turut menghancurkan bukti-bukti kejahatan yang ada. Pada 2018, pengungsi Rohingya kembali melarikan diri ke Bangladesh, menambah daftar panjang represi yang dilakukan oleh aparat Burma. Human Rights Watch mendokumentasikan penyiksaan terhadap para pengungsi Rohingya yang telah kembali dari Bangladesh. Human Rights Watch, PBB, dan organisasi-organisasi lainnya selama bertahun-tahun telah mendokumentasikan berbagai pelanggaran hak asasi manusia di Negara Bagian Shan dan Kachin. Pertempuran meningkat di wilayah timur laut Burma dalam beberapa tahun terakhir dengan macetnya perjanjian gencatan senjata antara pihak pemerintah dan berbagai kelompok etnis bersenjata lainnya. Warga sipil yang telantar dan pelanggaran terhadap hukum perang kerap dilaporkan.

lembaga pbb yang berwenang mengadili pelanggaran ham internasional adalah